1
By : coco stemzago
Lembut belaian kasihmu tak ada duanya di dunia ini, kehangatan yang kau berikan sungguh mampu mendamaikan hati, kau adalah malaikat penjaga di saat kuncup-kuncup bunga terlahir ke dunia ini, kau curahkan kasih sayang sepenuhnya milikmu, merawat dan mengajari hingga tumbuh menjadi permata kehidupan, permata yang bersinar hingga ke langit, kasihmu sepanjang jalan, cintamu abadi, senyummu adalah embun pagi yang menyejukan, dunia ini tak bersemi jika tak ada hadirmu diantaranya.
“Asalamu’alaikum bu’ berangkat dulu….”
“Eee… cium tangannya mana…?”
“Oiya… mmmmucah…”
“sudah punya uang saku nak’…”
“sudah bu’… sisa yg kemaren masih ada…” kataku sambil berlari mengejar teman-teman yang hendak berangkat sekolah. Kehidupanku penuh dengan kasih sayang dan keceriaan setiap hari selalu dalam tawa keceriaan belajar dan bermain itulah fase hidup yang sedang kujalani kini. Setiap pulang sekolah telah tersedia pakaian ganti dan makanan khusus yang istimewa untukku bahkan setiap saat makan selalu istimewa, pernah suatu ketika saat ekonomi kami sedang dalam masa-masa kritis hanya sekedar membeli beras pun tak sanggup, kami punya kebun singkong di pekarangan rumah, sebagai ganti dari nasi jadilah singkong dibuat menjadi oyek, oyek kami menyebutnya seperti itu’ nasi dari singkong, ibu tau jika aku tidak menyukai oyek, dan pasti aku tak akan memakan makanan itu. Tanpa sepengetahuanku ibu meminta nasi barang sepiring kepada tetangga ituah yang selalu ibu lakukan jika persedian beras sedang habis, sebagai rasa terimaksih ibu kepada tetangga jika ibu membuat kue ibu menyisakan kue untuk dibagi ke tetangga, semua itu diakukan ibu dengan tulus hanya untukku. Tak jauh berbeda dengan nasinya lauk tempe goreng yang hanya ada dua potong itu pun diberikannya satu untukku dan satunya lagi untuk ayah ibu hanya cukup makan dengan oyek dan lauk ampas yaitu parutan kelapa yang dibubuhi garam. Apapun dilakukan Ibu dan Ayah agar roda kehidupan kami tetap berjalan, Ayah hampir setiap hari pulang larut malam pekerjaanya adalah membuat cobek dari batu kali, setiap hari ayah bisa menghasilkan Lima belas cobek, jika harganya sedang normal satu cobek dihargai Seribu Limaratus per buah, sementara ibu juga jarang di rumah ibu sering menjadi buruh pemetik padi, pemetik buah melinjo dan buruh pencabut rumput di kebun tetangga apapun yang dapat menghasilkan uang ibu bersedia mengerjakannya hanya sekedar untuk membantu ekonomi keluarga. Jelas setiap malam hari adalah waktunya istirahat, baik ayah maupun ibu pasti kelelahan seharian bekerja, memijat tangan ibu itulah yang kuakukan jika waktu malam tiba kemudian dilanjutkan dengan memijat punggung ayah, biasanya sebelum beranjak ketempat tidur kami bercengkrama sebentar di ruang tamu, dan akhirnya seluruh ruangan rumah menjadi gelap gulita untuk menghemat tagihan listrik semua lampu dimatikan.
“bu’ tipasin aku kegerahan…, bu besok aku mau dibeliin buku gambar ya..”
“iya… nak,,,”
“yang warnanya merah…, yang ada gambar robotnya…”
Setiap malam selimut kasih sayangnya selalu menghangatkan tidurku mengantarku hingga jauh ke negeri kapuk dengan tenang dan damai, di elus-elusnya keningku hingga ku terlelap dengan sendirinya, mengiyakan semua permintaan yang ku terkesan rewel minta ini itu semauku, kadang aku marah pada ibu karena tidak mengabulkan salah satu permintaanku padahal jelas-jelas ibu sudah berkata iya’ padaku.
Akhir-akhir ini ibu lebih sering merenung berdiam diri, anak keduanya satu-satunya anak perempuan ibu akan segera melakukan pernikahan, dua minggu lagi menikah dengan orang jauh berbeda provinsi, istri pasti akan mengkuti jejak suaminya tinggal bersama sang suami yang jauh disana. setelah kakak pertamaku yang merantau dan juga menikah dengan orang jauh. ibu selalu merindukan anak-anaknya dari enam anaknya semuanya telah merantau kecuali aku yang masih tinggal bersamanya, hampir hanya satu tahun sekali kami saling berjumpa yaitu dalam suasana lebaran, saat idul fitri adalah hari sangat membahagiakan untuk ibu terlihat jelas raut wajahnya yang cerah saat berkumpul dengan para buah hatinya. Ibu akan menyuguhkan banyak sekali makanan dan kue-kue buatannya sendiri di hari istimewa itu, akan melayani para buah hatinya bagaikan si mbok melayani majikannya. Tapi menunggu saat itu masih lama walau hanya sekedar dibayangkan ibu, masih Enam buan lagi. Kadang ibu menerima pesanan membuat kue, ibu jago jika membuat kue dan setiap kali akan membuat kue maka aku akan hadir di situ untuk menjadi orang pertama yang mencicipinya, dan tentu juga membantunya tidak Cuma membuat kue saat memasak pun aku ada untuk membantunya, makanya aku bisa membuat kue, memasak, merajut dan melakukan hal-hal lainnya yang biasa dikerjakan oleh perempuan,
“ibu kenapa, ibu menangis…?”
“ibu tak menangis nak’…”
“ayo lanjutin bikin kue’nya.., itu daun pisangnya dilappin …”
“ibu… baca surat dari siapa…?”
“bukan apa-apa,… tolong masukkin kepanci kue pipisnya nak…’”
Jelas kulihat kelopak matanya dipenuhi genangan air mata, apa namanya itu jika bukan menangis hatiku trenyuh sekali jika melihat seseorang menangis apa lagi itu ibuku sendiri aku seolah ingin menangis bersamanya. Kulihat surat itu di atas meja ruang tamu apa kiranya yang membuat ibu menangis semkin penasaran ku diabuatnya pelan-pelan ku buka amplop putih Air Mail itu, ku lihat isinya dengan seksama satu-satu ku eja Jombang, 12 Juli 2007 surat ini dari kak’ Rodo kakak pertamaku, di surat tertulis ananda Rodo lebaran tahun ini tidak bisa pulang karena istrinya tengah mengandung Delapan Bulan kwatir jika nanti terjadi apa-apa di perjalanan, kakak minta maaf tidak dapat berkumpul bersama keluarga saat lebaran nanti mungkin baru bisa bersilaturahmi setelah istrinya itu melahirkan sehabis lebaran. Aku mengerti kesedihan-kesedihan yang membuat ibu menangis, umur ibu kini memasuki Lima puluh Lima tahun aku semakin mengerti yang orang tua butuhkan kini bukan segenggam emas yang kau berikan untuk menukar kebahagiaan bukan sekoper uang untuk membahagiakan ibu, atau segudang materi. Seorang ibu akan sangat merindukan kehadiran putra-putrinya di usia tua, memberikannya kasih sayang yang tulus sebagaimana seorang ibu menyayangi buah hatinya diwaktu kecil, ibu tua menginginkan perhatian dan cinta disaat raga mereka terasa lemah dan tak berdaya lagi.
Lulus dari sekolah menengah kejuruan membuatku harus segera bekerja di sebuah perusahaan atau PT, lulusan SMK sudah dicetak khusus untuk bekerja, berbeda dengan SMU yang setelah lulus dilanjutkan dengan kuliah di Universitas, keinginanku masuk ke SMU tertahan karena jelas keluargaku tak akan mampu membiayaiku jika harus kuliah. setelah melewati Tiga tahun kelulusan pasti akan sulit mencari pekerjaan kembali di PT, untuk itu harus dengan segera mendaftar bekerja di PT, namanya juga PT kerja keras menggunakan segenap kekuatan fisik itu yang di unggulkan, sering kami yang menjadi karyawan PT disebut sebagai kuli. Yang masa kerjanya menggunakan system kontrak saat ini hampir tidak mungkin untuk dapat diangkat menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan, itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi para lulusan SMK, bisa dihitung saat usia melebihi Dua puluh enam tahun perusahaan akan menolak untuk menerima sebagai karyawan lagi. Nasib sebenarnya dimulai dari sini banyak yang menganggur, sebagian ada yang berwirausaha seadanya atau yang lebih cerdas adalah mereka yang menabung di waktu menjadi karyawan dan setelah tiba masa tak produktif lagi di PT mereka membuka sebuah usaha dari hasil tabungan tersebut. Ya tapi itupun tak banyak yang melakukannya terkadang hanya orang-orang yang benar-benar pintar dalam memanajemen keungan yang bisa. Bekerja jauh dari keluarga jauh dari ibu membuat hatiku tak tenang sepenuhnya dimalam-malam sendiri terbayang akan senyuman ibu yang penuh dengan kasih sayang itu,
“bu… sedang apa kau kini di kampung…?”
“baik-baik… selalu ibu, aku menyayangimu…”
“aku akan segera pulang… membawakan oleh-oleh wingko babat kesukaan ibu…”
Saat ku terbayang wajahnya yang selalu cerah diwaktu berjumpa denganku, diliputi kerutan-kerutan keningnya dihiasi senyuman lebar lesung pipi yang bulat dan sentuhan lembut akan semakin bertambah kangenku dengan ibu, ku khwatir saat ini ibu sedang menangis Sembilan bulan lamanya kita tak berjumpa.
Umur semakin matang saja, kontrak Satu tahunku telah habis, apa boleh buat untuk sementara ini ku tinggal di rumah sambil menunggu panggilan dari perusahaan lain yang kemungkinan bersedia menerima surat lamaran yang telah kukirim sebelumnya, kini di rumah ada aku bapak dan ibu seperti kembali ke masa dulu saja sebelum ku pergi merantau, ibu masih saja sering memanjakan aku, kini ibu lebih sering membicarakan masalah-masalah kehidupan denganku mungkin karena sekarang usiaku sudah dianggap dewasa,
“nak’… menikahlah dengan orang satu desa sini ya…”
“ah’… belum terpikirkan olehku bu….”
“nak’ kan tau semua saudaramu satu-persatu telah menjadi orang jauh…ibu tak ingin ditinggal lagi….”
“hmm… iya insyaAlloh bu’…”
“kamu tak kasihan sama ibu… nanti siapa yang mengurusi ibu disini….”
Tak banyak kata, ku alihkan perhatian ibu dengan topik lainnya “jangan ada kesedihan lagi bu…aku tak sanggup jika harus melihat ibu meneteskan air mata lagi” panggilan dari PT tak kunjunga datang sudah Tiga bulan lamanya, aku tak bisa seperti ini terus segera mencari pekerjaan baru itu yang harus kulakukan menganggur di kampung tanpa penghasilan hanya akan menjadi beban, sementara kini fisik ayah sudah mulai lemah dan sering sakit-sakitan sudah tak mampu lagi membuat cobek. Batinku semakin tak enak saja untuk berlama-lama membebani mereka. Aku punya seorang sahabat Nanang namanya yang memberikan informasi tentang sebuah pekerjaan yang gajinya hampir Lima kali lipat pekerjaan di PT, terang saja ku bersemangat menanggapi hal itu. Ku benar-benar tertarik ingin sekali mengambil pekerjaan itu jika sebesar itu gaji yang aku peroleh Lima tahun saja ku bisa membangun toko atau tempat usaha dari tabungan penghasilan pekerjaan itu. Segera lewat SMS ku Tanya saja dengan semangat.
“bagaimana Nang… dengan pekerjaan yg kemaren…”
“kamu berminat pa…?”
“sangat berminat….”
“kalo kamu berminat segera ku uruskan Pasportnya, nanti masalah biaya dipotong gaji…”
“lho emang pekerjaannya dimana…?”
“Di korea sana…. Bagaimana…?”
“owh… di luar negeri tho…., ya nanti aku kabari lagi. Trimakasih sebelumnya Nang….”
Berpikir habis-habisan ku setelah SMS malam itu, ku harus Tanya Ayah juga ibu dan mendapat persetujuannya sebelum akhirnya ku ambil keputusan. Keadaan ibu kini sudah membaik sebelumnya ibu menginap tiga hari di Puskesmas karena terkena typus sekarang sudah bias beraktifitas seperti biasa.
“bagaimana nak…jadi berangkat…?”
“jadi bu… insyaAlloh minggu depan…ibu jangan khwatir ya nanti kan ada bibi yang nemenin ibu dirumah,,,”
“ibu takut tak bisa berjumpa denganmu lagi nak’…”
“hust….??? Ibu….. ibu kan maih sehat-sehat saja…tak akan terjadi apa-apa… ”
Dari kecil hingga kini ku dewasa ibu selalu menuruti permintaanku dan tak melarang apa kemauanku bahkan untuk yang ini, aku akan ke luar negeri selama Lima tahun dan selama itu aku tak akan berjumpa dengan ibu, Berat sekali meninggalkan ibu, sekali lagi tetesan airmata ibu yang berharga itu menetes dipundakku dan membasahi pipiku dirangkulnya ku erat-erat.”ibu… sudahlah… aku akan kembali pulang untuk ibu…”.
Satu minggu meginap di tempat penampungan TKI di Jakarta kemudian hari ini saatnya berkemas mempersiapkan segala sesuatu keperluan-keperluan yang dibutuhkan nanti. Sore sampai dibandara rencananya jam Empat ini berangkat meninggalkan Indonesia, tapi jadwal penerbangan tertunda hingga nanti jam Lima, pukul Empat lima puluh kuangkat ransel menuju pesawat keberangkatan selang beberapa langkah Handphoneku berbunyi telepon dari rumah,
“ibu di rumah sakit…. Typusnya kambuh lagi…”
“di rumah sakit…??? Apa penyakitnya sudah parah….:???”
“sudah Dua hari yang lalu…. Baru saja dirujuk dari puskesmas…ibu nyebut-nyebut nama kamu terus…”
“sekarang bagaimana keadannya… ??? aku ingin bicara bias ga…???”
“bisa… ibu memang ingin bicara dari kemarin….”
“ibu… ibu…. Bagaimana keadaan ibu…..???”
“nak…. Pulang nak….”
Hanya itu kata terakhirnya, suranya merintih dan ibu terdengar gemetar. Sementara panggilan untuk penumpang segera memasuki pesawat akan segera berangkat telah diserukan lewat microphone bandara. Memejamkan mata ku renungi apa yang harus kulakukan kini…
“ibu aku menyayangimu…”
Tak berpikir panjang lagi tak akan kutorehkan sejarah yang akan membuatku menyesal seumur hidupku kelak. Pukul Enam di terminal…
“Pak’ satu tiket ke Kebumen Jawa tengah….”
Sabtu, 4 september 2010